MAKALAH
JUAL BELI SALAM
Mata Kuliah : Fiqih Ibadah
Dosen Pengampu : H. M. Subhan Idris, Lc, M.S.I
Disusun oleh :
1. AHMAD ZAENI ( 146010194 )
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS WAHID HASYIM
SEMARANG
2015
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Diantara bukti kesempurnaan agama Islam
ialah dibolehkannya jual beli dengan cara salam, yaitu akad pemesanan suatu
barang dengan kriteria yang telah disepakati dan dengan pembayaran tunai pada
saat akad dilaksanakan. Yang demikian itu, dikarenakan dengan akad ini kedua
belah pihak mendapatkan keuntungan tanpa ada unsur tipu-menipu atau gharar
(untung-untungan).
Pembeli (biasanya) mendapatkan keuntungan
berupa jaminan untuk mendapatkan barang sesuai dengan yang ia butuhkan dan pada
waktu yang ia inginkan.Sebagaimana ia juga mendapatkan barang dengan harga yang
lebih murah bila dibandingkan dengan pembelian pada saat ia membutuhkan kepada
barang tersebut.Sedangkan penjual juga mendapatkan keuntungan yang tidak kalah
besar dibanding pembeli, diantaranya penjual mendapatkan modal untuk
menjalankan usahanya dengan cara-cara yang halal, sehingga ia dapat menjalankan
dan mengembangkan usahanya tanpa harus membayar bunga.
Dengan demikian selama belum jatuh tempo,
penjual dapat menggunakan uang pembayaran tersebut untuk menjalankan usahanya
dan mencari keuntungan sebanyak-banyaknya tanpa ada kewajiban apapun.Penjual
memiliki keleluasaan dalam memenuhi permintaan pembeli, karena biasanya tenggang
waktu antara transaksi dan penyerahan barang pesanan berjarak cukup lama.
Jual-beli dengan cara salam merupakan
solusi tepat yang ditawarkan oleh Islam guna menghindari riba. Dan mungkin ini
merupakan salah satu hikmah disebutkannya syari'at jual-beli salam sesuai
larangan memakan riba.
B.
Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam makalah ini
adalah:
1.
Apa yang dimaksud dengan bai’ as-Salam dan bagaimana konsep aplikasinya
dalam kehidupan bermuamalat.
2.
Apa yang dimaksud dengan salam paraleldan bagaimana konsep aplikasinya
dalam kehidupan bermuamalat.
C.
Tujuan Penulisan
1.
Mengetahui bai’ as-Salam dan konsep aplikasinya dalam kehidupan
bermuamalat.
2.
Mengetahui salam paraleldan konsep aplikasinya dalam kehidupan
bermuamalat.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN BAI’ AS-SALAM
Secara bahasa, salam (سلم) adalah al-i'tha'(الإعطاء)dan at-taslif (التسليف). Keduanya
bermakna pemberian.[1]Ungkapan
aslama ats tsauba lil al-khayyathbermakna : dia telah menyerahkan baju kepada
penjahit.[2]
Sedangkan
secara istilah syariah,
akad salam sering didefinisikan
oleh para fuqaha secara umumnya menjadi: (بيع موصوف في الذمة ببدل يعطى عاجلا). Jual-beli
barang yang disebutkan
sifatnya dalam tanggungan
dengan imbalan (pembayaran) yang
dilakukan saat itu juga.
Penduduk Hijaz mengungkapkan akad pemesanan
barang dengan istilah salam, sedangkan penduduk Irak menyebutnya Salaf.
Jual beli salam adalah suatu benda yang
disebutkan sifatnya dalam tanggungan atau memberi uang didepan secara tunai,
barangnya diserahkan kemudian/ untuk waktu yang ditentukan. Menurut ulama
syafi’iyyah akad salam boleh ditangguhkan hingga waktu tertentu dan juga boleh
diserahkan secara tunai.[3]
Secara lebih rinci salam didefenisikan
dengan bentuk jual beli dengan pembayaran dimuka dan penyerahan barang di
kemudian hari (advanced payment atauforward buying atau future sale) dengan
harga, spesifikasi, jumlah, kualitas, tanggal dan tempat penyerahan yang jelas,
serta disepakati sebelumnya dalam perjanjian.[4]
Fuqaha menamakan jual beli ini dengan
“penjualan Butuh” (Bai’ Al-Muhawij). Sebab ini adalah penjualan yang barangnya
tidak ada, dan didorong oleh adanya kebutuhan mendesak pada masing-masing penjual dan pembeli. Pemilik
modal membutuhkan untuk membeli barang, sedangkan pemilik barang butuh kepada
uang dari harga barang.[5]Berdasarkan ketentuan-ketentuannya, penjual bisa
mendapatkan pembiayaan terhadap penjualan produk sebelum produk tersebut
benar-benar tersedia.[6]
B.
LANDASAN SYARIAH
Landasan syariah transaksi bai’ as-Salam
terdapat dalam al-Qur’an dan al-Hadist.
a.
Al-Quran
282. Hai orang-orang yang beriman, apabila
kamu bermu'amalah[7] tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah
kamu menuliskannya.[8]
Dan utang secara umum meliputi
utang-piutang dalam jual beli salam,dan utang-piutang dalam jual beli lainnya.
Ibnu Abbas telah menafsirkan tentang utang-piutang dalam jual beli salam.[9]
Dalam kaitan ayat di atas Ibnu Abbas
menjelaskan keterkaitan ayat tersebut dengan transaksi bai’ as-Salam, hal ini
tampak jelas dari ungkapan beliau: “Saya bersaksi bahwa salam (salaf) yang
dijamin untuk jangka waktu tertentu telah dihalalkan oleh Allah pada kitab-Nya
dan diizinkan-Nya.” Ia lalu membaca ayat tersebut.[10]
b.
Al-Hadist
عَنِ اِبْنِ عَبَّاسٍ -رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا-
قَالَ: قَدِمَ اَلنَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم اَلْمَدِينَةَ, وَهُمْ يُسْلِفُونَ فِي
اَلثِّمَارِ اَلسَّنَةَ وَالسَّنَتَيْنِ, فَقَالَ: ( مَنْ أَسْلَفَ فِي تَمْرٍ فَلْيُسْلِفْ
فِي كَيْلٍ مَعْلُومٍ, وَوَزْنٍ مَعْلُومٍ, إِلَى أَجَلٍ مَعْلُومٍ ) مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ. وَلِلْبُخَارِيِّ: مَنْ أَسْلَفَ
فِي شَيْءٍ
Ibnu Abbas berkata: Nabi Shallallaahu
'alaihi wa Sallam datang ke Madinah dan penduduknya biasa meminjamkan buahnya
untuk masa setahun dan dua tahun. Lalu beliau bersabda: "Barangsiapa
meminjamkan buah maka hendaknya ia meminjamkannya dalam takaran, timbangan, dan
masa tertentu." Muttafaq Alaihi. Menurut riwayat Bukhari:
"Barangsiapa meminjamkan sesuatu."[11]
وَعَنْ عَبْدِ اَلرَّحْمَنِ بْنِ أَبْزَى، وَعَبْدِ
اَللَّهِ بْنِ أَبِي أَوْفَى -رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا- قَالَا:( كُنَّا نُصِيبُ
اَلْمَغَانِمَ مَعَ رَسُولِ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم وَكَانَ يَأْتِينَا أَنْبَاطٌ
مِنْ أَنْبَاطِ اَلشَّامِ, فَنُسْلِفُهُمْ فِي اَلْحِنْطَةِ وَالشَّعِيرِ وَالزَّبِيبِ
- وَفِي رِوَايَةٍ: وَالزَّيْتِ - إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى. قِيلَ: أَكَانَ لَهُمْ زَرْعٌ?
قَالَا: مَا كُنَّا نَسْأَلُهُمْ عَنْ ذَلِك)
رَوَاهُ اَلْبُخَارِيُّ
Abdurrahman Ibnu Abza dan Abdullah Ibnu
Aufa Radliyallaahu 'anhu berkata: Kami menerima harta rampasan bersama
Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam Dan datanglah beberapa petani dari
Syam, lalu kami beri pinjaman kepada mereka berupa gandum, sya'ir, dan anggur
kering -dalam suatu riwayat- dan minyak untuk suatu masa tertentu. Ada orang
bertanya: Apakah mereka mempunyai tanaman? Kedua perawi menjawab: Kami tidak
menanyakan hal itu kepada mereka. (HR. Bukhari).[12]
Abdullah bin Abu Mujalid r.a. berkata, Abdullah bin Syadad bin Haad
pernah berbeda pendapat dengan Abu Burdah tentang salaf. Lalu mereka utus saya
kepada Ibnu Abi Aufa.Lantas saya tanyakan kepadabya perihal
iti.Jawabnya.‘Sesungguhnya pada masa Rasulullah Saw., pada masa Abu Bakar, pada
masa Umar, kami pernah mensalafkan gandum, sya’ir, buah anggur, dan kurma. Dan
saya pernah pula bertanya kepada Ibnu Abza, jawabnya pun seperti itu
juga.(Bukhari).[13]
Dari berbagai landasan di atas, jelaslah
bahwa akad salamdiperbolehkan sebagai kegiatan bemuamalah sesama manusia.
C.
RUKUN BAI’ AS-SALAM
Pelaksanaan bai’ as-Salam harus memenuhi
sejumlah rukun sebagai berikut[14]:
1.
Muslam (pembeli) adalah pihak yang membutuhkan dan memesan barang.
2.
Muslam ilaih (penjual) adalah pihak yang memasok barang pesanan.
3.
Modal atau uang. Ada pula yang menyebut harga (tsaman).
4.
Muslan fiih adalah barang yang
dijual belikan.
5.
Shigat adalah ijab dan qabul.
D.
SYARAT JUAL BELI SALAM
Syarat-syarat sahnya jual beli salam adalah
sebagai berikut:[15]
1.
Pihak-pihak yang berakad disyaratkan dewasa, berakal, dan baligh.
2.
Barang yang dijadikan obyek akad disyaratkan jelas jenis, ciri-ciri, dan
ukurannya.
3.
Modal atau uang disyaratkan harus jelas dan terukur serta dibayarkan
seluruhnya ketika berlangsungnya akad. Menurut kebanyakan fuqaha, pembayaran
tersebut harus dilakukan di tempat akad supaya tidak menjadi piutang penjual.
Untuk menghindari praktek riba melalui mekanisme Salam.pembayarannya tidak bisa
dalam bentuk pembebasan utang penjual.
4.
Ijab dan qabul harus diungkapkan dengan jelas, sejalan, dan tidak
terpisah oleh hal-hal yang dapat memalingkan keduanya dari maksud akad.
Para imam mazhab telah bersepakat
bahwasanya jual beli salam adalah benar dengan enam syarat yaitu jenis
barangnya diketahui, sifat barangnya diketahui, banyaknya barang diketahui,
waktunya diketahui oleh kedua belah pihak, mengetahui kadar uangnya, jelas
tempat penyerahannya.[16]
Namun Imam Syafi’i menambahkan bahwa akad
salam yang sah harus memenui syarat in’iqad, syarat sah, dan syarat muslam
fiih.
1.
Syarat-syarat In’iqad
a.
Pertama, menyatakan shigat ijab dan qabul, dengan sighat yang telah
disebutkan.
b.
Kedua, pihak yang mengadakan akad cakap dalam membelanjakan harta.
Artinya dia telah baligh dan berakal karena jual beli salam merupakan transaksi harta benda, yang hanya
sah dilakukan oleh orang yang cakap membelanjakan harta, sepertihalnya akad
jual beli.
2.
Syarat Sah Salam
a.
Pertama, pembayaran dilakukan di majelis akad sebelum akad disepakati,
mengingat kesepakatan dua pihak sama dengan perpisahan. Alasannya, andaikan
pembayaran salam ditangguhkan,terjadilah transaksi yang mirip dengan jual beli
utang dan piutang, jikaharga berada dalam tanggungan. Disamping itu akad salam
mengandung gharar.
b.
Kedua, pihak pemesan secara khusus berhak menentukan tempat penyerahan
barang pesanan, jika dia membayar ongkos kirim barang. Jika tidak maka pemesan
tidak berhak menentukan tempat penyerahan. Apabila penerima pesanan harus
menyerahkan barang itu di suatu tempat yang tidak layak dijadikan sebagai
tempat penyerahan. misalnya gurun sahara,, atau
layak dijadikan tempat penyerahan barang tetapi perlu biaya
pengangkutan, akad salam hukumnya tidak sah.
3.
Syarat Muslam Fiih (barang pesanan)
Ada empat syarat yang harus dipenuhi dalam
barang pesanan, yaitu sebagai berikut:
a.
Pertama, barang pesanan harus jelas jenis, bentuk, kadar, dan sifatnya.
Ia dapat diukur dengan karakteristik tertentu yang membedakannya dengan barang
lain dan tentu mempunyai fungsi yang
berbeda pula seperti beras tipe 101, gandum,jagung putih, jagung kuning dan
jenis barang lainnya. Barang seperti lukisan berharga dan barang-barang langka
tidak dapat dijadikan barang jual beli salam.
Penyebutan karakteristik tersebut sangat perlu dilakukan untuk
menghindari ketidakjelasan barang pesanan.
b.
Kedua, barang pesanan dapat diketahui kadarnya baik berdasarkan takaran,
timbangan, hitungan perbiji, atau ukuran panjang dengan satuan yang dapat
diketahui. Disyaratkan menggunakan timbangan dalam pemesanan buah-buahan yang
tidak dapat diukur dengan takaran.
‘Abdullah ibn Mas‘ud melarang adanya
kontrak salam pada binatang. Tetapi ‘Abdullah ibn ‘Umar membolehkannya
jikapembayaran ditentukan pada waktu yang telah disepakati.Hal ini menunjukkan
bahwa para sahabat terus mengizinkan praktek penjualan di muka.[17]
c.
Ketiga, barang pesanan harus berupa utang (sesuatu yang menjadi
tanggungan).
d.
Keempat, barang pesanan dapat diserahkan begitu jatuh tempo penyerahan.
Barang yang sulit diserahkan tidak boleh diperjual belikan, karena itu dilarang
alam akad salam.[18]
Hal-hal lain yang terkait dengan transaksi
salam dapat diuraikan sebagai berikut:[19]
Ketentuan Pembiayaan Bai as-Salam sesuai
dengan Fatwa No.05/1 DSN-MUI/IV/2000 Tanggal 1 April 2000.
a)
Ketentuan Pembayaran Uang Kas:
i. Alat bayar harus diketahui jumlah
dan bentuknya, baik berupa uang, barang,
atau manfaat;
ii. Dilakukan saat kontrak disepakati
(inadvance); dan
iii. Pembayaran tidak boleh dalam bentuk
ibra’ (pembebasan utang). contoh pembeli mengatakan kepada petani (penjual)
“Saya beli padi Anda sebanyak 1 ton dengan harga Rp 10 juta yang
pembayarannya/uangnya adalah Anda saya bebaskan membayar utang Anda yang dahulu
(sebesar Rp 2 juta)”. Pada kasus ini petani memang memiliki utang yang belum
terbayar kepada pembeli, sebelum terjadinya akad salam tersebut.
b)
Ketentuan Barang:
i. Harus jelas
ciri-cirinya/spesifikasi dan dapat diakui sebagai utang;
ii. Penyerahan dilakukan kemudian;
iii. Waktu dan tempat penyerahan barang
harus ditetapkan ber- dasarkan kesepakatan;
iv. Pembeli tidak boleh menjual barang
sebelum barang tersebut diterimanya (qabadh). Ini prinsip dasar jual beli; dan
v. Tidak boleh menukar barang, kecuali
dengan barang sejenis sesuai kesepakatan.
c)
Penyerahan Barang sebelum Tepat Waktu:
i. Penjual wajib menyerahkan barang
tepat waktu dengan kualitas dan kuantitas yang disepakati;
ii. Bila penjual menyerahkan barang, dengan
kualitas yang lebih tinggi, penjual tidak boleh meminta tambahan harga;
iii. Jika penjual menyerahkan barang
dengan kualitas lebih rendah, dan pembeli rela menerimanya, maka pembeli tidak
boleh meminta pengurangan harga (diskon); dan
iv. Penjual dapat menyerahkan barang
lebih cepat dari waktu yang disepakati dengan syarat: kualitas dan jumlah
barang sesuai dengan kesepakatan dan tidak boleh menuntut tambahan harga.
Jika semua/sebagian barang tidak tersedia
tepat pada waktu penyerahan atau kualitasnya lebih rendah dan pembeli tidak
rela menerimanya, maka pembeli memiliki dua pilihan:
1.
Membatalkan kontrak dan meminta kembali uang.
2.
Menunggu sampai barang tersedia.
Pembatalan kontrak boleh dilakukan selama
tidak merugikan kedua belah pihak, dan jika terjadi di antara kedua belah
pihak, maka persoalannya diselesaikan melalui pengadilan agama sesuai dengan UU
No. 3/2006 setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah. Para pihak
dapat juga memilih BASYARNAS (Badan Arbitrase Syariah Nasional) dalam
penyelesaian sengketa.Tetapi jika lembaga ini yang dipilih dan disepakati sejak
awal, maka tertutuplah peranan pengadilan agama.
Menentukan Waktu Penyerahan Barang
Tentang periode minimum pengiriman, para
fuqaha memiliki pendapat berikut:
a.
Hanafi menetapkan periode penyerahan barang pada satu bulan. Untuk
beberapa penundaan,selambat-lambatnya adalah tiga hari. Tapi, jika penjual
meninggal dunia sebelum penundaan berlalu, salam mencapai kematangan. Dalam
Ketentuan Umum tentang Akad, pasal 89 menyebutkan “Jika penjual meninggal dan
jatuh pailit setelah menerima pembayaran tetapibelum menyerahkan barang yang
dijual kepada pembeli,barang tersebut dianggap barang titipan kepunyaan pembeli
yang ada di tangan penjual.
b.
Menurut Syafi’i salam dapat segera dan tertunda.
c.
Menurut Malik, penundaan tidak boleh kurang dari 15 hari.[20]
E.
SALAM PARALEL
1.
Pengertian
Salam paralel yaitu melaksanakan dua
transaksi bai’ as-Salam antara bank dengan nasabah, dan antara bank dengan
pemasok (supplier) atau pihak ketiga lainnya secara simultan.
Dewan Pengawas Syariah Rajhi Banking &
Investment Corporation telah menetapkan fatwa yang membolehkan praktek salam
paralel dengan syarat pelaksanaan transaksi salam kedua tidak tergantung
pelaksanaan akad salam yang pertama.
Beberapa ulama kontemporer melarang
transaksi salam paralel terutama jika perdagangan dan transaksi semacam itu
dilakukan secara terus-menerus. Hal demikian diduga akan menjurus kepada riba.
2. Ketentuan Umum
a.
Pembatalan kontrak
Pembatalan kontrak dengan pengembalian uang
pembelian, menurut jumhur ulama, dimungkinkan dalam kontrak salam. Pembatalan
penuh pengiriman muslam fihi dapat dilakukan sebagai ganti pembayaran kembali
seluruh modal salam yang telah dibayarkan. Demikian juga pembatalan sebagian
penyerahan barang dapat dilakukan dengan mengembalikan sebagian modal.
b.
Penverahan muslam fihi sebelum atau pada waktunva.
Muslam ilaih harus menyerahkan muslam fihi
tepat pada waktunya dengan kualitas dan kuantitas sesuai kesepakatan.Jika
muslam ilaih menyerahkan muslam fihi dengan kualitas yang lebih tinggi, muslam
harus menerimanya dengan syarat bahwa muslam ilaih tidak meminta harga yang
lebih tinggi sebagai ganti kualitas yang lebih baik tersebut.
Jika muslam ilaih mengantar muslam fihi
dengan kualitas lebih rendah, pembeli mempunyai pilihan untuk menolak atau
menerimanya.Para ulama berbeda pendapat tentang boleh tidaknya muslam ilaih
menyerahkan muslam fihi yang berbeda dari yang telah disepakati.
Muslam ilaih dapat menyerahkan muslam fihi
lebih cepat dari yang telah disepakati, dengan beberapa syarat:
a)
Kualitas dan kuantitas muslam fihi telah disepakati.
b)
Kualitas dan kuantitas muslam fihi tidak lebih tinggi dari kesepakatan.
c)
Kualitas dan kuantitas muslam fihi tidak lebih rendah dari kesepakatan.
d)
Jika semua atau sebagian muslam fihi tidak tersedia pada waktu
penyerahan, muslam mempunyai dua pilihan. Pertama, membatalkan kontrak dan
meminta kembali uangnya. Kedua, menunggu sampai muslam fihi tersedia.
3. Perbedaan Bai’ as Salam dengan Ijon
Banyak orang yang menyamakan bai’ as salam
dengan ijon Padahal, terdapat perbedaan besar di antara keduanya. Dalamijon,
barang yang dibeli tidak diukur atau ditimbang secara jelas dan
spesifik.Demikian juga penetapan harga beli, sangat tergantung kepada keputusan
sepihak si tengkulak yang sering kali sangat dominan dan menekan petani yang
posisinya lebih lemah. Sedangkan transaksi bai 'as salam mengharuskan adanya 2
hal:
a. Pengukuran dan spesifikasi
barang yang jelas. Hal ini tercermin dari hadits Rasulullah yang diriwayatkan
oleh Ibnu Abbas. "Barangsiapa melakukan transaksi salaf (salam), maka
hendaklah ia melakukan dengan takaran yang jelas, timbangan yang jelas, untuk
jangka waktu yang jelas pula."
b.
Adanya keridhaan yang utuh antara kedua belah pihak. Hal ini terutama
dalam penyepakati harga. Allah berfirman: "Kecuali
denganjalanperniagaanyang berlaku dengan suka sama suka di antara kalian."
(Q.S. An Nisa: 29).
Untuk memastikan adanya harga yang “fair”
ini pemerintah diwajibkan melakukan pengawasan dan pembinaan.
Contoh Ijon:
Pembeli membeli beras yang saat itu masih
belum dipanen sebanyak satu hektar, dan diantar pada saat panen.
Contoh Bai’ as Salam:
Pembeli membeli padi sebanyak satu ton padi
dari petani yang diantar pada waktu panen.
Pada contoh ijon terdapat spekulasi yang
akan merugikan salah satu pihak. Jika pembeli memperkirakan hasil panen
sebanyak lima ton dan membayar seharga itu, sedangkan kenyataannya menghasilkan
tujuh ton, maka petani merugi. Ia tidak bisa menikmati duaton kelebihannya.
Tetapi sebaliknya, jika hasilnya hanya tiga ton maka pembeli yang merugi karena
telah membayar seharga lima ton.
Pada contoh bai' as salam, petani hanya
menjual sebagian dari produknya. Kalau terjadi gagal panen, ia hanya wajib
menyediakan padi sebanyak yang dapat dipenuhinya.
4. Aplikasi dalam Perbankan
Bai’ as salam biasanya dipergunakan pada
pembiayaan bagi petani dengan jangka waktu yang relatif pendek, yaitu 2-6
bulan. Karena yang dibeli oleh bank adalah barang seperti padi, jagung, dan
cabai dan bank tidak bemiat untuk menjadikan barang-barang tersebut sebagai
simpanan atau inventory, maka dilakukan akad bai’as salam kepada pembeli kedua,
misalnya kepada Bulog, pedagang pasar induk, dan grosir. Inilah yang dalam
perbankan Islam dikenal sebagai salam paralel.
Bai ’ as salam juga dapat diaplikasikan
pada pembiayaan barang industri, misalnya produk garmen (pakaian jadi) yang
ukuran barang tersebut sudah dikenal umum. Caranya, saat nasabah mengajukan
pembiayaan untuk pembuatan garmen, bank mereferensikan penggunaan produk
tersebut.Hal itu berarti bahwa bank memesan dari pembuat garmen tersebut dan
membayamya pada waktu pengikatan kontrak.Bank kemudian mencari pembeli
kedua.Pembeli tersebut bisa saja rekanan yang telah direkomendasikan oleh
produsen garmen tersebut Bila garmen itu telah selesai diproduksi, produk
tersebut diantarkan kepada rekanan tersebut.Rekanan kemudian membayar kepada
bank, baik secara mengangsur maupun tunai.
5. Risiko dan Manfaat
Berdasarkan sifatnya yang paralel, bai'as
salam mengandung risiko berdasarkan sifatnya yang simultan, salam paralel
memiliki beberapa manfaat dan risiko yang harus diantisipasi oleh bank syariah,
di antaranya:
a.
Default.Jika pemasok tidak bisa mendatangkan barang yang dipesan karena
lalai atau menipu. Maka, bank tidak bias memenuhi barang yang diminta oleh pembeli.[21]
b.
Tak terjual, bank tidak bisa mencari pembeli dari barang salam. Hal
terjadi jika pemasok mengantarkan barang yang tidak sesuai dengan kesepakatan
saat kontrak.
c.
Harga, harga barang ketika diantar lebih rendah dari harga yang
disepakati dengan penjual saat kontrak.
Manfaat bai’as salam adalah selisih harga
yang didapat dari nasabah dengan harga jual kepada pembeli.
6. Skema Aplikasi Jual Beli Salam di
Perbankan Syariah
Skema jual beli salam yang dapat
diaplikasikan dalam perbankan syariah adalah seperti pada Gambar berikut[22].
http://sanggelombang.files.wordpress.com/2010/12/skema-salam.jpg?w=300&h=231
Keterangan:
Koperasi petani mangga harum manis
memerlukan bantuan dana untuk mensukseskan panen anggota-anggotanya tahun depan
terhitung dari sekarang. Untuk itu, koperasi petani tersebut mendatangi bank
syariah dan menawarkan skema jual beli salam agar bank syariah tidak rugi dan
petanipun dapat panen dengan baik. Maka prosesnya adalah sebagai berikut:
1.
Bank syariah membeli 10 ton mangga harum manis dari koperasi petani buah
mangga harum manis dengan harga Rp. 50.000,- per kilogram menggunakan akad jual
beli salam untuk 1 tahun kedepan.
2.
Bank syariah membayar tunai kepada koperasi tersebut sebesar:
Rp.50.000,- x 1000 x 10 = Rp. 500.000.000,- .
3.
Bank syariah menjual kepada pemborong buah mangga harum manis dengan
harga Rp.55.000,- per kilogram menggunakan akad jual beli salam untuk 1 tahun
kedepan.
4. Pemborong membayar tunai kepada bank
syariah sebesar: Rp.55.000,- x 1000 x 10 = Rp.550.000.000,-.
5.
Setelah satu tahun berlalu, koperasi petani mengirimkan mangga harum
manis dengan jumlah dan kualitas sesuai pesanan kepada bank syariah.
6.
Bank syariah kemudian mengirimkan
buah-buah tersebut kepada pemborong.
7.
Pemborong menjual mangga harum manis di pasar buah dengan harga
Rp.100.000,- per kilogram.
8.
Pemborong mendapatkan keuntungan dari penjualan mangga di pasar buah.
Dari penjelasan dalam skema di atas,
terlihat bahwa semua yang terlibat dalam jual beli salam mendapatkan keuntungan
mereka masing-masing. Para petani mendapatkan keuntungan berupa panen yang baik
dengan hasil yang memuaskan disebabkan keperluan-keperluan mereka dalam
mengelola perkebunan tersebut dapat terpenuhi dengan uang tunai yang dibayarkan
di muka oleh pihak bank syariah. Sedangkan pihak bank syariah mendapatkan
keuntungan sebesar lima puluh juta rupiah yang merupakan selisih harga jual
kepada pemborong dengan harga beli dari petani mangga. Dan pihak pemborong
mendapatkan keuntungan dari selisih harga beli dari bank syariah dengan harga
jual di pasar buah.
Memang resiko yang ditanggung oleh pihak
bank dan pemborong cukup besar, utamanya ketika prospek harga barang tersebut
ke depannya tidak terlalu positif.Oleh karena itu, sikap kehati-hatian bank
dalam model jual beli ini sangatlah tinggi, dan skema ini pada akhirnya memang
tidak dapat diterapkan untuk semua jenis produk atau hasil pertanian, hanya
pada jenis-jenis hasil pertanian yang dapat diramalkan bagus.
BAB III
KESIMPULAN
Bai'as-salam artinya pembelian barang yang
diserahkan kemudian hari, sedangkan pembayaran dilakukan di muka.Prinsip yang
harus dianut adalah harus diketahui terlebih dulu jenis, kualitas dan jumlah
barang, dan hukum awal pembayaran harus dalam bentuk uang.
Dalam transaksi Bai’ as Salam harus
memenuhi 5 (lima) rukun yang mensyaratkan harus ada pembeli, penjual, modal
(uang), barang, dan ucapan (sighat).
Sebagaimana dapat dipahami dari namanya,
yaitu as salam yang berarti penyerahan, atau as salaf, yang artinya
mendahulukan, maka para ulama' telah menyepakati bahwa pembayaran pada akad
as-salam harus dilakukan di muka atau kontan, tanpa ada sedikitpun yang
terhutang atau ditunda.
Telah diketahui bahwa akad salam ialah akad
penjualan barang dengan kriteria tertentu dan pembayaran di muka. Maka menjadi
suatu keharusan apabila barang yang dipesan adalah barang yang dapat ditentukan
melalui penyebutan kriteria.Penyebutan kriteria ini bertujuan untuk menentukan
barang yang diinginkan oleh kedua belah pihak, seakan-akan barang yang dimaksud
ada dihadapan mereka berdua.Dengan demikian, ketika jatuh tempo, diharapkan
tidak terjadi percekcokan kedua belah pihak seputar barang yang dimaksud.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Abu al-Walid M ibnu, 2004.Bidayatul
Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid,Beirut: Darul Fikri.
Al-‘Atsqolany, Ibnu Hajar, 2011. Bulughul
Maram min Adillatil ahkam, Surabaya:
Mutiara Ilmu.
Al-Jaziry, Abdurrahman, 2004. Kitab Al-fiqh, Beirut: Darul fikri.
Al-Qu’an al-Karim.
Al-Zahily, Wahbah. 2007. Al-fiqhu Al-Islam
wa Adillatuhu, Damaskus: Darul Fikri.
Antonio, Muhammad Syafi’i, 2006. Bank
Syariah Wacana Ulama & Cendekiawan, Jakarta.
Ascarya, 2011.Akad dan Produk Bank Syariah,
Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Fatih,Ibrahim bin, 2006. Uang Haram, Jakarta: Amzah.
Fahmi, Abu, Jual Beli Salam,
http://sanggelombang.wordpress.com/2010/12/02/ jual-beli-salam/, di akses
tanggal 4 April 2013, pukul 9:18 WIB.
Hassan,‘Abdullah Alwi Haji, 2006. Sales And
Contracts Early Islamic Commercial Law, New Delhi: Kitab Bhavan.
Huda, Nurul dan Muhammad Haekal,
2010.Lembaga Keuangan Islam: Tinjauan Teoretis dan Praktis,Jakarta: Kencana.
Khan,M. Fahin,1995.Essays in Islamic
Economics, Nigeria: The Islamic Foundation.
Lisanul Arab, madah 'Gharar'.
Mansuri, Muhammad Tahir, 2006. IslamicLawof
Contracts andBusiness Transactions, New Delhi:Adam Publishers &
Distributors.
MuhZa, Habiburrahman, Akad Salam, http://penabanten.blogspot.com/2011/06/akad-salam.html,
di akses tanggal 4 April 2013, pukul 8:48 WIB.
Rivai, Veithzal. dkk, 2012. Islamic
Bussiness and Economic Ethics: Mengacu pada Al-Qur’an dan Mengikuti Jejak
Rasulullah SAW dalam Bisnis, Keuangan, dan Ekonomi, Jakarta: Bumi Aksara.
Syafe’I, Rahmat, 2004. Fiqih Muamalah,
Bandung: Pustaka Setia.
Zuhaili, Wahbah, 2008. Al-fiqhu Asy-syafi’iyyah Al-Muyassar,
Beirut: Darul Fikr.
Zuhaili, Wahbah. 2008. Fiqih Imam Syafi’i,
Jakarta Timur: Almahira.
[1]Salam yang dimaksud dalam pembahasan ini
terdiri dari tiga huruf : sin-lam-mim (سلم), artinya adalah penyerahan dan
bukan berarti perdamaian. Dari kata salam inilah istilah Islam punya akar yang
salah satu maknanya adalah berserah-diri. Sedangkan kata salam yang bermakna
perdamaian terdiri dari 4 huruf, sin-lam-alif-mim (سلام).
[2]Lisanul Arab, Madah 'Gharar' halaman 217
[3]
Wahbah Zuhaili, Al-fiqhu Asy-syafi’iyyah Al-Muyassar, (Beirut: Darul
Fikr, 2008), h. 26.
[4]Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah,
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011), h. 90.
[5] Ibrahim bin Fatih bin Abd Al-Muqtadir,
Uang Haram, (Jakarta: Amzah, 2006), h. 21.
[6] M. Fahin Khan, Essays in Islamic
Economics, (Nigeria: The Islamic Foundation, 1995), h. 32.
[7]Bermuamalah ialah seperti berjualbeli,
hutang piutang, atau sewa menyewa dan sebagainya.
[8] Al-Qu’an al-Karim
[9]Abdurrahman al-Jaziry.Kitab Al-fiqh,
(Beirut: Darul fikri, 2004), h. 244.
[10] Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah
Wacana Ulama & Cendekiawan, (Jakarta, 2006), h. 131
[11]Abu al-Walid M ibnu Ahmad ibnu Rusyd
al-Qurthuby al-Andalusy, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, (Beirut:
Darul Fikri, 2004) h. 162.
[12] Ibnu Hajar Al-‘Atsqolany. Bulughul
Maram min Adillatil ahkam, (Surabaya:
Mutiara Ilmu, 2011), h.382-383.
[13] Veithzal Rivai. dkk, Islamic Bussiness
and Economic Ethics: Mengacu pada Al-Qur’an dan Mengikuti Jejak Rasulullah SAW
dalam Bisnis, Keuangan, dan Ekonomi, (Jakarta: Bumi Aksara, 2012), h. 357.
[14]Op.Cit, Ascarya, h. 91.
[15]Rahmat Syafe’i, Fiqih Muamalah,
(Bandung: Pustaka Setia, 2004), h. 33.
[16] Wahbah Al-Zahily. Al-fiqhu Al-Islam wa
Adillatuhu, (Damaskus: Darul Fikri, 2007), h. 3603-3605.
[17]‘Abdullah Alwi Haji Hassan, Sales And
Contracts Early Islamic Commercial Law, (New Delhi: Kitab Bhavan, 2006), h. 68.
[18] Wahbah Zuhaili. Fiqih Imam Syafi’i,
(Jakarta Timur: Almahira, 2008), h. 25-32.
[19]Nurul Huda dan Muhammad Haekal, Lembaga
Keuangan Islam: Tinjauan Teoretis dan Praktis, (Jakarta: Kencana, 2010), h. 50.
[20]Muhammad Tahir Mansuri, IslamicLawof
Contracts andBusiness Transactions, (New Delhi: Adam Publishers&
Distributors, 2006), h. 203.
[21]Habiburrahman MuhZa, Akad Salam,
http://penabanten.blogspot.com/2011/06/akad-salam.html, di akses tanggal 4
April 2013, pukul 8:48 WIB.
[22]Abu Fahmi, Jual Beli Salam,
http://sanggelombang.wordpress.com/2010/12/02/jual-beli-salam/, di akses
tanggal 4 April 2013, pukul 9:18 WIB.
EmoticonEmoticon