Rancangan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) beberapa kali
ditunda pengesahannya. Salah satu persoalan yang ditolak (mayoritas kalangan
Kristen) adalah pengajaran agama oleh guru yang seagama. Alasannya adalah Hak
Asasi Manusia (HAM). Seperti disebut Kompas (24/5/2003), pihak yang menolak
mengatakan dalam International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights
atau Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya - KIHESB (pasal 13
ayat 3) dirumuskan, “Negara-negara peserta berupaya menghormati kebebasan
orangtua (atau wali) dan menjamin pendidikan agama dan moral bagi anak-anak
mereka sesui keyakinan mereka”. Kebebasan seperti ini, kata mereka, harus
dipahami sebagai kebebasan untuk tidak beragama pula. Karenanya, siswa sekolah
yang dipandang belum dewasa (di bawah 17 tahun) dapat dipandang belum beragama,
sehingga bila ‘dipaksa’ untuk menjalankan ibadah agama dalam praktik pendidikan
agama di sekolah-sekolah akan menjadi suatu bentuk pelanggaran
HAM.
Selain itu, dengan mengutip General Comment 13, paragraf 28, mereka
menyatakan pendidikan agama harus dipandang sebagai pengetahuan, yang karenanya
perlu mengintroduksi suatu pelajaran “Agama-agama Besar di Dunia”. Pengajarannya
tidak perlu dilakukan oleh guru yang seagama dengan agama peserta didik.
Berdasarkan sekilas alasan di atas, tampak jelas alasan sebenarnya dari
penolakan pengajaran agama (baca: Islam) di sekolah kepada murid Muslim oleh
guru yang juga Muslim. Pertama, ada upaya pemurtadan siswa Muslim seperti
disinyalir banyak kalangan. Kedua, agama hanyalah dipandang sebagai pengetahuan,
tidak lebih. Ketiga, langkah berikutnya adalah ‘menyatukan’ (sinkretisme)
agama-agama besar. Islam, Kristen, dan Yahudi dianggap sama dan satu kesatuan.
Semua itu dibungkus dengan dalih Hak Asasi Manusia (HAM). Ternyata, itulah
hakikat HAM yang mereka gembar-gemborkan.
Islam Adalah Jalan Hidup
Pandangan bahwa agama merupakan pengatur spiritual saja hanya benar untuk
agama lain. Sebaliknya, Islam bukan sekadar mencakup aspek spiritual, melainkan
merupakan pandangan, jalan, dan sistem hidup yang lengkap. Islam merupakan
akidah yang diyakini sekaligus aturan dan hukum yang mampu memecahkan berbagai
masalah kehidupan.
Dari segi akidah, Islam menegaskan bahwa semua yang
ada di alam ini diciptakan oleh Allah SWT ( QS Thaha [20]: 14; QS al-Baqarah
[2]: 22). Allah SWT tidak hanya menurunkan aturan tentang alam semata, melainkan
juga menurunkan perintah dan larangan yang termaktub di dalam wahyu yang
diturunkan-Nya sebagai aturan kehidupan. Allah sajalah yang berhak menentukan
hukum dan aturan bagi manusia (QS al-Baqarah [2]: 2; QS al-Qadr [97]: 1;QS
an-Nahl [16]: 103; QS Yusuf [12]: 40), yang dibawa oleh Rasulullah (QS al-Fath
[48]: 28-29; QS ash-Shaf [61]: 9). Semua perkara yang terdapat di dalam al-Quran
harus diikuti (QS al-Hasyr [59]: 7; QS al-Baqarah [2]: 4). Manusia memang bebas
mengikuti aturan yang diturunkan oleh-Nya ataupun membangkang-Nya (QS al-Balad
[90]: 10). Hanya saja, nanti pada Hari Kiamat manusia akan dibangkitkan dan
seluruh perbuatan yang dilakukannya di dunia ini akan dihisab (QS al-Mukminun
[23]: 16; QS ar-Ra’du [13]: 40-41; QS al-Insyiqaq [84]: 8; QS al-Ghasiyah [88]:
26). Ujungnya, ada manusia yang dimasukkan oleh Allah SWT ke surga; ada pula
yang ke neraka (QS al-Baqarah [2]: 25; QS ad-Dukhan [44]: 51-55; QS al-Waqi’ah
[55]: 41-43). Dengan demikian, tugas manusia adalah untuk beribadah dalam arti
luas (QS adz-Dzariyat [51] : 56), yang oleh Muhammad Quthub dalam bukunya,
Mafahim Yanbaghi an-Tushahhah, dimaknai sebagai taat kepada Allah, tunduk dan
patuh kepada-Nya, serta terikat dengan aturan-aturan Islam dalam segala aspek
kehidupan. Berdasarkan hal ini, orang yang berpegang pada akidah Islam akan
senantiasa terikat dengan aturan-aturan Islam (hukum syariat).
Akidah
Islam menetapkan bahwa sebelum ada kehidupan dunia ini ada Allah SWT; Zat
Pencipta manusia, alam semesta, dan kehidupan. Islam pun mengharuskan beriman
pada kehidupan setelah dunia, yaitu kiamat dan kehidupan akhirat. Akidah Islam
juga menetapkan bahwa bila ingin bahagia dunia-akhirat, dalam mengarungi
kehidupan dunia ini manusia harus terikat dengan aturan-aturan Allah SWT dan
menjauhi perkara-perkara yang dilarang-Nya. Agama Islam tidak boleh dipisahkan
dari kehidupan. Di rumah, pasar, mal, kendaraan, kantor, masjid, ruang
pertemuan, mes, hotel, dan di setiap tempat manusia diperintahkan menaati
perintah Allah SWT, Zat Yang Mahatahu. Dalam makanan, minuman, pakaian, akhlak,
ibadah, dan berbagai muamalah Allah SWT memerintahkan setiap Muslim untuk
menjalankan aturan Islam (hukum syariat). Inilah hubungan antara kehidupan dunia
dan sebelum kehidupan dunia. Selain itu, dalam akidah Islam, setiap orang akan
ditanyai kelak: apakah ia menaati perintah-perintah-Nya dan menjauhi
larangan-larangan-Nya ataukah sebaliknya. Kenyataan yang akan dialami semua
orang ini merupakan hubungan antara dunia dengan sesudahnya.
Berdasarkan
hal ini, jelas sekali, seorang Muslim diperintahkan untuk selalu melakukan
perbuatannya sesuai dengan perintah dan larangan Allah SWT, Zat Yang
Mahabijaksana. Semua itu tidak lain semata-mata dalam rangka mencapai
kebahagiaan sejati berupa keridhaan Allah SWT, yang salah satu wujud yang
dijanjikan-Nya adalah surga yang penuh kenikmatan. Seorang Muslim merasa
tenteram dan bahagia saat berhasil melakukan ketaatan kepada Allah SWT.
Sebaliknya, ia bersedih bila perbuatannya melanggar hukum Allah SWT. Letak
kebahagiaan seorang Muslim yang menjadikan Islam sebagai qiyâdah fikriyyah
terletak pada ketaatannya kepada Allah Rabbul ‘Izzati. Beginilah akidah Islam
sebagai qiyâdah fikriyyah; memimpin penganutnya untuk senantiasa menjadikan
dirinya sebagai makhluk dan hamba Allah SWT.
Pada sisi lain, akidah
Islam bukan hanya memerintahkan untuk melakukan perintah Allah SWT dan menjauhi
larangan-Nya semata, melainkan juga menjelaskan berbagai pemecahan masalah
kehidupan yang dapat digali dari sumber hukum Islam: al-Quran, Hadis Nabi, Ijma
Sahabat, dan Qiyas (Analogi) Syar’iyyah. Menggali sumber-sumber tersebut akan
ditemukan bahwa Islam menjelaskan sistem hubungan laki-laki dengan perempuan
mulai dari bergaul, meminang, menikah, nafkah, mengurus anak, nasab, perwalian,
dan waris. Semua ini merupakan sistem sosial (nizhâm ijtimâ‘î). Bukan hanya itu,
dalam persoalan ekonomi, Allah SWT menjelaskan tentang konsep ekonomi,
pemilikan, sebab-sebab pemilikan, jenis-jenis kepemilikan, berbagai jenis akad
dalam muamalah, hukum-hukum seputar perseroan dan perusahaan,
kebijakan-kebijakan untuk mengentas kemiskinan, lembaga perekonomian, dan
hal-hal lain yang merupakan sistem ekonomi (nizhâm iqtishâdî). Masalah
pemerintahan dipaparkan pula dalam al-Quran dan Hadis Nabi; mulai dari arti
pemerintahan, kepemimpinan, syarat-syaratnya, bentuk pemerintahan,
lembaga-lembaga pemerintahan, perkara perang dan damai, hubungan luar negeri,
sistem partai politik, dan persoalan-persoalan lain dalam sistem pemerintahan
(nizhâm al hukm). Persoalan sanksi juga dengan gamblang dijelaskan oleh
Rasulullah saw. Beliau menjelaskan dengan gamblang berbagai jenis sanksi (hudûd,
jinâyat, mukhâlafat), berbagai sanksi hukum bagi pembunuhan (sengaja, tidak
disengaja), pencurian, perampokan, gangguan keamanan lain, hal-hal menyangkut
persaksian, penyidikan dan penyelidikan, lembaga peradilan, dan segala hal yang
berkaitan dengan sistem hukum (nizhâm ‘uqûbât). Begitu pula dalam sistem-sistem
lainnya.
Ringkasnya, Islam mengandung sistem yang mengatur berbagai
interaksi antar masyarakat. Dengan demikian, Islam merupakan ‘akidah ‘aqliyyah
yang melahirkan sistem peraturan. Jadi, Islam merupakan mabda’ (ideologi).
Ideologi Islam inilah yang diperintahkan Allah SWT untuk dijadikan pandangan
hidup dan pengatur masyarakat.
Inilah Islam. Seperti itulah Islam harus
diajarkan. Islam bukanlah sebatas pengetahuan, melainkan akidah dan syariah.
Ketika Islam merupakan keimanan dan aturan, tidak mungkin keimanan diajarkan
oleh orang yang tidak mengimaninya; tidak mungkin keterikatan terhadap hukum
melekat dalam jiwa bila diajarkan oleh orang yang tidak mempercayainya.
Waspadai Sinkretisme!
Setelah serbuan ideologi Barat membaratkan
masyarakat Muslim, episode pun beralih menjadi pembaratan Islam itu sendiri.
Dunia Islam diserbu oleh pemikiran yang ditujukan pada penumbuhan rasa ragu kaum
Mslim terhadap ajaran Islam. Gembar-gembor dialog antar agama hanyalah merupakan
upaya sinkretisme agama yang dibonceng upaya pemurtadan.
Pada saat yang
sama, orang-orang yang berideologi kapitalis atau terperosok ke dalamnya
menekankan agar kajian-kajian terhadap ajaran Islam didasarkan pada cara pandang
ideologi kapitalis, HAM, dan demokrasi. Akhirnya, Islam yang hendak dinjeksikan
ke tengah kaum Muslim adalah Islam yang sekadar legitimasi semata. Seruan bahwa
semua agama sama, tuduhan ‘mempolitisasi’ agama, hukum Islam kejam serta hanya
layak untuk Abad Kedua Hijriah, dan sebagainya merupakan sebagian fakta dari hal
itu.
Berikutnya, diserukanlah ‘penyatuan agama-agama’ (sinkretisme) atau
paling tidak ‘menyamadudukkan’ agama-agama dengan menerapkan sekularisme.
Tujuannya adalah mereduksi kedudukan Islam dan menutupi ajarannya yang khas
mengenai akidah dan syariat serta memecah-belah dakwah Islam (Pembaratan di
Dunia Islam, 1991:28). Hasil semua itu adalah Islam terpisah dari kaum Muslim.
Jadilah, seperti kata Sayyid Quthb, Al-Islâm Syaiun wa Muslim Syaiun Akhar
(Islam adalah sesuatu dan Muslim adalah sesuatu yang lain). Seseorang memang
menganut Islam tetapi tidak memahami dan tidak menerapkan Islam. Islam yang
semestinya diterapkan hanya teronggok di dalam lembaran-lembaran al-Quran atau
buku-buku karya para ulama yang tersimpan dalam rak-rak buku.
Secara
i’tiqâdî, upaya sinkretisme seperti itu haram. Allah SWT tegas sekali berfirman:
Janganlah kalian mencampuradukkan yang haq dengan yang batil, dan
janganlah kalian menyembunyikan yang haq itu, sedangkan kalian mengetahuinya.
(TQS al-Baqarah [2]: 42).
Hai Ahli Kitab, mengapa kalian
mencampuradukkan yang haq dengan yang batil dan menyembunyikan kebenaran,
padahal kalian mengetahui? (TQS. Ali Imran [3]: 71).
Berdasarkan hal
ini, upaya menyamadudukkan agama-agama bertentangan dengan akidah Islam.
Karenanya, setiap Muslim harus menolaknya sebagai konsekuensi keimanannya.
Wahai Kaum Muslim,
Kita adalah umat terbaik yang diturunkan oleh
Allah SWT untuk segenap manusia, mengajak manusia pada yang makruf serta
mencegahnya dari perbuatan mungkar, yang dasarnya adalah keimanan kepada Allah,
Pencipta kita semua.
Islam adalah tinggi dan tidak ada yang lebih tinggi
darinya. Kaum Muslim hanya akan tinggi apabila berpegang pada Islam yang tinggi
tersebut. Kemuliaan terletak pada keterikatan terhadap aturan Allah SWT dalam
Islam. Karenanya, ketika ada upaya-upaya untuk menggerogoti Islam, bahkan
menghancurkan ajarannya dengan menyamadudukkan Islam dengan ajaran kebatilan,
kewajiban kitalah untuk menjaganya. Sebab, itulah yang diperintahkan Allah, Zat
Yang Maha Mulia, kepada kita sebagai hamba-Nya.
Wahai kaum Muslim,
Ingatlah, Allah Yang Maha Gagah telah berfirman:
Mereka tidak akan
henti-hentinya memerangi kalian sampai mereka (dapat) mengembalikan kalian dari
agama kalian (pada kekufuran), seandainya mereka sanggup. Siapa saja yang murtad
di antara kalian dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, mereka itulah
yang sia-sia amalannya di dunia dan akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka,
mereka kekal di dalamnya (TQS. al-Baqarah [2]:217).
Ayat tersebut
menginformasikan kepada kita untuk memiliki kepekaan terhadap upaya yang hendak
menggiring kita dan anak cucu kita pada kekufuran. Kelalaian terhadap masalah
ini menyebabkan kita berdosa di sisi Allah SWT. Karenanya, Rasulullah saw.
mengajarkan agar kita menjadi penjaga setiap celah Islam pada posisi
masing-masing.
Wahai kaum Muslim,
Hanya dengan Islamlah hidup kita
akan bahagia di dunia dan di akhirat. Hanya dengan Islamlah manusia, baik Muslim
maupun non-Muslim dihargai kedudukannya, termasuk terjamin pelaksanaan agamanya.
Kita, kaum Muslim, kini tengah mengemban amanah Allah SWT bagi manusia untuk
menyelamat kannya dengan Islam, termasuk dalam masalah pendidikan. Karena itu,
sudah saatnya kaum Muslim menerapkan sistem pendidikan
Islam. |
|
EmoticonEmoticon